A.    LATAR BELAKANG
Myanmar merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang berbatasan dengan China, Thailand, India, Bangladesh dan Laos, memiliki sejarah yang kaya dan budaya yang sudah ada ribuan tahun lamanya. Penduduknya yang berjumlah 54-60 juta orang (sensus terakhir pada tahun 1983) sangat beragam-ragam, termasuk ratusan kelompok etnis yang berbeda yang mempraktikkan berbagai macam agama, termasuk agama Buddha, Kristen, Islam, Hindu dan animisme (meskipun Buddhisme dipraktekkan oleh sebagian besar orang-orang hampir 90%) Bentuk pemerintahan Myanmar adalah junta militer yang dikenal dengan nama The State Peace and Development Council (SPDC). Dahulu Myanmar dikenal dengan nama Burma, namun pada tanggal 18 Juni 1989 nama Burma diubah oleh Junta Militer menjadi Myanmar.
Salah satu etnis lainnya yang berada di Myanmar adalah Rohingya, Rohingya merupakan kelompok minoritas Muslim yang berada di Negara Bagian Arakan, yang terletak di pantai barat Myanmar. Diperkirakan terdapat 800.000 orang muslim Rohingya di Arakan yang merupakan 25% dari populasi penduduk Myanmar. Masyarakat Rohingya bertempat tinggal terutama di negara bagian Arakan Utara, tepatnya di kota-kota Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung. Namun, sejumlah besar etnis Rohingya ini tinggal di luar Myanmar, termasuk lebih dari 200.000 orang berada di Bangladesh.
Myanmar merupakan negara multi agama dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 60 juta orang. Lebih dari 135 grup etnis bertempat tinggal di Burma, masing-masing dengan sejarah, kebudayaan, dan bahasanya sendiri. Mayoritas grup etnis Burman (Bamar) mendominasi kira-kira dua per tiga dari populasi dan memegang kendali atas militer dan pemerintahan. Satu per tiga sisanya adalah etnis minoritas nasional, sebagian besar hidup di daerah perbatasan yang kaya akan sumber daya dan bukit-bukit Burma, walaupun banyak yang telah dipindahkan secara paksa dari tempat tinggalnya oleh pemerintah yang menyita tanah untuk proyek pembangunan dan eksploitasi sumber daya.
Tujuh etnis minoritas terbesar yang diakui oleh undang-undang kewarganegaraan Myanmar adalah Chin, Kachin, Karenni (Kayah), Karen(Kayin), Mon, Rakhine, dan Shan. Etnis Rohingya tidak diakui oleh pemerintah sebagai etnis kebangsaan Burma, dan dengan demikian mereka mengalami diskriminasi terburuk dan pelanggaran HAM dari seluruh rakyat Burma. Hak kewajiban Negara terhadap orang pada hakikatnya ditentukan oleh wilayah negara tersebut dan kewarganegaraan orang yang bersangkutan. Kewarganegaraan adalah kedudukan hukum orang dalam hubungannya dengan negaranya. Kewarganegaraan itu ditetapkan oleh negara yang bersangkutan. Kewarganegaraan itu menimbulkan hak dan kewajiban pada dua belah pihak.
Warga negara suatu negara, di mana pun ia berada harus tunduk juga pada kekuasaan dan hukum negaranya. Bagi warga negara yang ada di luar negeri, berlakunya kekuasaan dan hukum negara itu dibatasi oleh kekuasaan dan hukum negara tempat mereka berada di lain pihak, negara wajib melindungi warga negaranya. Menurut Amnesty International, orang Rohingya telah mengalami penderitaan yang cukup panjang akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Junta Myanmar. Kebebasan bergerak orang Rohingya sangat terbatas. Mereka juga mengalami berbagai bentuk pemerasan dan dikenakan pajak secara sewenang-wenang, perampasan tanah, pengusiran paksa dan penghancuran rumah, dan pengenaan biaya adminstrasi yang tinggi pada pernikahan. Mereka terus dipekerjakan sebagai buruh paksa di jalan dan di kamp-kamp militer, meskipun jumlah tenaga kerja paksa di Rakhaing utara telah menurun selama satu dekade terakhir.
Penindasan terhadap Rohingya diberitakan memang memuncak pada tahun 2012, melalui isu propaganda pemerkosaan gadis Rakhine (Buddist) oleh 3 orang Rohingya. Namun demikian, penindasan dan diskriminasi terhadap Rohingya sejatinya sudah terjadi jauh sebelum tahun 2012 dan bahkan jauh sebelum Myanmar merdeka pada tahun 1948. Sebagaimana penuturan Heri Aryanto, Koordinator Advokasi Pengungsi SNH Advocacy Center, bahwa sejak penaklukan Kerajaan Islam Arakan oleh Kerajaan Burma, penguasa saat itu (Kerajaan Burma-red) mulai melakukan diskriminasi terhadap etnis-etnis minoritas, termasuk di antaranya Rohingya.
Wilayah Arakan dahulunya merupakan bagian jajahan British India, dan ketika Myanmar merdeka, wilayah ini kemudian diakui sebagai negara bagian Myanmar (Rakhine State). Namun sayangnya, meskipun tanahnya diakui, tetapi Rohingya tidak diakui sebagai bagian etnis bangsa Myanmar. Penindasan dan diskriminasi terhadap Rohingya berlanjut di era pemerintahan Jungta Militer (1962-2010). Tidak hanya operasi-operasi militer yang dilakukan untuk mengeliminasi Rohingya dari Bumi Arakan, tetapi juga melalui perangkat hukum UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982, yang dibentuk untuk tujuan menghilangkan status kewarganegaraan Rohingya di Myanmar. UU Kewarganegaraan Myanmar menetapkan 3 kategori warga negara, dan dari 3 kategori tersebut, tidak satu pun kategori yang bisa diterapkan terhadap Rohingya.
Kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) didirikan pada 14 Desember 1950 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Organisasi ini memiliki mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan internasional dalam melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di dunia. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak–hak dan keamanan pengungsi. UNHCR bekerja untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencari suaka dan mendapatkan suaka yang aman di negara lain, dengan pilihan selanjutnya untuk kembali ke negara asalnya secara sukarela, diintegrasi secara lokal atau ditempatkan di negara ketiga. UNHCR juga dimandatkan oleh Majelis Umum PBB untuk membantu dan mencari solusi bagi orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan.
Sejak tahun 1950, UNHCR telah memberikan pertolongan kepada puluhan juta orang untuk memulai kembali hidup mereka. Sampai saat ini, lebih dari 9,300 staff dari 123 negara terus memberikan bantuannya dan melindungi jutaan pengungsi dan orang-orang tanpa kewarganegaraan.[7] Di Asia, pergerakan migrasi tercampur (mixed migratory movements) terus menerus menandai kawasan tersebut, dengan adanya perpindahan sekelompok orang untuk mencari penghidupan yang lebih baik, sementara perpindahan lain dilakukan untuk melarikan diri dari penganiayaan dan konflik. Dalam konteks kompleks migrasi tercampur di Asia Tenggara, terdapat peningkatan jumlah pencari suaka sebagai akibat dari perkembangan di kawasan tersebut, yang menyebabkan pengungsian eksternal, misalnya karena konflik  di Sri Lanka dan situasi hak asasi manusia di Myanmar.

B.     Rumusan Masalah
1). Bagaimana kronologi dari kasus pelanggaran ini?
2). Bagaimana kasus ini jika dianalisis dari segi hak?
3). Bagaimana kasus ini dalam hukum internasional?
4). Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya kasus pelanggaran ham ini?



C.    Tujuan Penulisan
1)      Untuk mengetahui analisis hak tentang kasus ini;
2)      Untuk mengetahui termasuk golongan hak apakah kasus tersebut;
3)      Untuk mengetahui kronologi dari kasus pelanggaran ham pada kasus Rohingya ;
4)      Untuk mengetahui bagaimana kasus ini dalam hukum internasional;
5)      Untuk mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya kasus pelanggaran ham ini;
6)      Untuk mengetahui hak apa saja yang seharusnya didapatkan oleh etnis rohingya.








A. Kronologi kasus diskriminasi etnis Rohingya
 Menurut laporan The New Light of Myanmar, sebuah koran yang terbit di negara Myanmar tertanggal 4 Juni 2012, konflik Rohingya bermula dari sebuah pembunuhan dan pemerkosaan  seorang gadis Budha bernama Ma Thida Htwe yang berumur 27 tahun, hidup di sebuah desa bernama Thabyechaung, Kyauknimaw, daerah Yanbye. Pada tanggal 28 Mei 2012  sore, Thida hendak pulang ke rumah setelah seharian bekerja di sebuah konveksi pakaian. Tepat pukul 17:15 waktu setempat, ia ditikam oleh orang yang tak dikenal di hutan Bakau samping jalan tanggul menuju Kyaukhtayan, bagian dari desa Kyauknimaw dan Chaungwa.
Kasus ini dibawa ke pihak kepolisian dan setelah penyelidikan ditetapkan beberapa tersangka. Mereka adalah Rawshi, Rawphi, dan Khochi. Hasil investigasi menyebutkan bahwa Rawshi tahu rutinitas sehari-hari korban yang pulang-pergi antara Desa Thabyechaung dan Desa Kyauknimaw untuk menjahit. Saat itu, dia sedang membutuhkan uang untuk menikahi seorang gadis .Untuk itulah dia bersama kedua rekan tersangka lainnya merampok perhiasan yang dikenakan seorang gadis tersebut dan kemudian dibunuhnya. Berita ini menyebar luas dikalangan penduduk sekitar. Untuk menghindari kerusuhan rasial, tim MPF yang memantau situasi di sana mengirim ketiga pemuda tersebut ke penjara pada pukul 10:15 tanggal 30 Mei 2012.
  Koran yang terbit pada hari berikutnya, 5 Juni menyebutkan bahwa beredar foto-foto hasil penyelidikan tim forensik bahwa sebelum dibunuh, ternyata korban sempat diperkosa oleh ketiga pemuda Bengali Muslim tadi. Korban juga digorok tenggorokannya, dadanya ditikam beberapa kali dan organ kewanitaannya ditikam dan dimutilasi dengan pisau. Foto-foto tersebut semakin menambah kemarahan warga yang beragama Budha. Dengan dalih bahwa Rohingya bukanlah etnis asli Myanmar, mereka yang terprovokasi melakukan penindasan-penindasan terhadap Rohingya. Mereka tidak menginginkan kehadiran etnis tersebut di bumi Arakan.
Koran New Light Myanmar edisi 5 Juni 2012 memberitakan rincian mengenai pembunuhan sepuluh orang Burma Muslim oleh massa Arakan sebagai berikut: “Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang dibunuh kejam pada tanggal 28 Mei, sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association, Taunggup, membagi-bagikan selebaran sekitar jam 6 pagi pada 4 Juni kepada penduduk lokal ditempat-tempat ramai di Tauggup, disertai foto Ma Thida Htwe dan memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine. Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orang Muslim dalam sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangoon dan berhenti di Terminal Bus Ayeyeiknyein. Petugas terminal lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangoon dengan segera. Bus berisi penuh sesak oleh penumpang, beberapa orang dengan mengendarai sepeda motor mengikuti bus. Ketika bus tiba di persimpangan Thandwe-Taunggup, sekitar 300 orang lokal sudah menunggu di sana dan menarik penumpang yang beridentitas Muslim keluar dari bus.
            Dalam bentrokan itu, sepuluh orang Islam tewas dan bus juga hancur. Konflik sejak insiden 10 orang Muslim terbunuh terus memanas di kawasan Arakan, Burma, muslim Rohingya menjadi sasaran. Seperti dilansir media Al-Jazeera, Hal ini dipicu juga oleh bibit perseteruan yang sudah terpendam lama, yaitu perseteruan antara kelompok etnis Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama Buddha. Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat.Ditambah lagi agama yang berbeda, mereka menganggap etnis Rohingya itu "pendatang haram" dari Bangladesh, walau fakta sejarahnya etnis Rohingya telah ada ditanah itu (Rakhine state) selama ratusan tahun berdampingan dengan burmanese lainnya.
Kemudian konflik antar dua kelompok  tak terhindarkan, terjadi saling bantai dan saling serang. Muslim Rohingya, karena jumlahnya sedikit dan beratusan tahun terpinggirkan, ratusan desa muslim dibakar dan dihancurkan dan sekitar 850-1000-an warga tewas. Sekitar 90.000-an lainnya terusir atau tetap menetap dalam penderitaan. Itulah sekelumit fakta konflik yang melanda Muslim Rohingya. Etnis Rohingya tidak diakui pemerintah junta militer, mereka tak diberi kartu identitas warga negara.[8]

B.  Jenis Hak yang Dilanggar pada Kasus Rohingya
Jika melihat dari semua peristiwa yang terjadi seperti kebebasan bergerak orang Rohingya sangat terbatas mereka juga mengalami berbagai bentuk pemerasan dan dikenakan pajak secara sewenang-wenang, perampasan tanah, pengusiran paksa dan penghancuran rumah, dan pengenaan biaya adminstrasi yang tinggi pada pernikahan. Mereka terus dipekerjakan sebagai buruh paksa di jalan dan di kamp-kamp militer. Maka hak- hak pokok kaum Rohingya lah yang telah dilanggar,  hak untuk mendapat kebebasan, hak untuk diri sendiri, hak untuk hidup, hak untuk mempertahankan hidup, serta hak untuk mendapatkan kewarganegaraan pun tidak diberikan oleh Rakhine state atau Myanmar, Wilayah Arakan dahulunya merupakan bagian jajahan British India, dan ketika Myanmar merdeka, wilayah ini kemudian diakui sebagai negara bagian Myanmar (Rakhine State). Namun sayangnya, meskipun tanahnya diakui, tetapi Rohingya tidak diakui sebagai bagian etnis bangsa Myanmar. Penindasan dan diskriminasi terhadap Rohingya berlanjut di era pemerintahan Jungta Militer (1962-2010). Tidak hanya operasi-operasi militer yang dilakukan untuk mengeliminasi Rohingya dari Bumi Arakan, tetapi juga melalui perangkat hukum UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982, yang dibentuk untuk tujuan menghilangkan status kewarganegaraan Rohingya di Myanmar. UU Kewarganegaraan Myanmar menetapkan 3 kategori warga negara, dan dari 3 kategori tersebut, tidak satu pun kategori yang bisa diterapkan terhadap Rohingya. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar, berdasarkan buku pengantar ilmu hukum karangan R. Soeroso, S.H kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan menjadi kasus pelanggaran terhadap hak mutlak. Kenapa bisa dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak mutlak karena hak mutlak merupakan kekuasaan atau kewenangan mutlak yang pasti dimiliki oleh setiap subjek hukum yang diberikan oleh hukum untuk berbuat sesuatu atau bertindak sesuai dengan kepentingannya, dan hak mutlak yang dimiliki oleh etnis Rohingya telah dilanggar.
            Hak mutlak ini dibagi lagi menjadi hak pokok atau hak dasar manusia. Hak pokok atau hak dasar manusia ialah hak yang diberikan hukum kepada manusia yang disebabkan hal oleh sesuatu berdasarkan hukum yang kelahirannya secara langsung menimbulkan hak-hak itu. Hak dasar ini tidak semata-mata dapat dijalankan semau kita tetapi hak tersebut dapat dicabut kembali apabila bertentangan dengan kepentingan umum.
            Beberapa pihak yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM etnis Rohingya di Myanmar diantaranya yaitu pemerintah Myanmar, masyarakat sipil, etnis Rohingya, PBB dan ASEAN. Hak yang dimiliki oleh pemerintah Myanmar adalah untuk menangani permasalahan tersebut secara mandiri dan tanpa campur tangan dari negara lain. Pemerintah Myanmar berhak untuk menolak bantuan dari negara lain, tetapi juga sebaiknya pemerintah Myanmar tidak menutup diri terhadap negara lain yang hendak membantu Myanmar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.



D.    Kasus Rohingya dalam Hukum Internasional

        Sebenarnya, PBB dalam hal ini telah mengutus UNHCR untuk datang ke Myanmar      dalam mengatasi etnis Rohingya yang masih berada di kawasan Myanmar sebagai bentuk perhatian masyarakat internasional atas kasus Rohingya. Banyak sekali bantuan yang dikeluarkan oleh UNHCR pada etnis ini seperti mengadakan pendidikan informal, membangun camp pengungsian, kesehatan, dan masih banyak lainnya.
          Tetapi, peran UNHCR disini hanyalah sebagai pembantu saja dan bersifat sementara, mereka tidak dapat menembus kebijakan yang diambil pemerintah Myanmar. Hal ini dibuktikan dengan permasalahan Rohingya sampai saat ini masih tetap ada sejalan dengan masih eksisnya bantuan dari UNHCR di Myanmar. Tetapi keberadaan UNHCR di Myanmar sejak tahun 90-an membuktikan bahwa usaha yang dilakukan oleh PBB dimulai dari dalam negeri Myanmar itu sendiri, mereka mencoba memenuhi kebutuhan dasar etnis ini, tetapi kembali lagi, usaha yang dilakukan PBB ini tidak dapat mencegah perlakuan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Myanmar sehingga etnis Rohingya tetap melarikan diri ke luar wilayah Myanmar.
          Myanmar adalah negara anggota PBB sejak tanggal 4 april 1948. Myanmar belum meratifikasi Konvenan-Konvenan penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, sebagai bagian dari anggota PBB, Myanmar berkewajiban menghormati ketentuan-ketentuan yang ada dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam PBB.Banyak ketentuan dalam UDHR yang telah dilanggar oleh pemerintah Myanmar, diantaranya, Hak Hidup (Pasal 3) untuk tidak disiksa (Pasal 5), atas setiap orang atas kewarganegaraan (Pasal 15) dan hak atas setiap orang untuk memilki sesuatu (Pasal 17). Selain pelanggaran terhadap ketentuan UDHR tersebut, Myanmar sbagai anggota PBB memiliki kewajiban untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia sebagaimana ditegaskan dalam Piagam PBB.Sementara itu wakil Organization of Islamic Cooperation (OIC) di PBB mendesak PBB untuk menekan pemerintahan Myanmar agar menyelesaikan konflik Rohingya. Myanmar tidak dapat bergabung dengan komunitas demokratis negara-negara lain jika tidak melindungi hak-hak minoritas di negerinya ujar para wakil OIC.
Secara khusus, Indonesia sebagai anggota OKI berkepentingan mendesak PBB untuk memberi sanksi tegas terhadap pemimpin Myanmar dengan mengajukan ke International Criminal Court (ICC) atas tuduhan upaya genosida secara sistematis terhadap Muslim Rohingya.ASEAN juga sebenarnya sudah mengadopsi prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia melalui dibentuknya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) padatahun 2009.
Namun kembali lagi bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan masyarakat internasional dalam menangani masalah Rohingya.Kedaulatan suatu negara sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat internasional.Sehingga masyarakat internasional tidak dapat melakukan intenvensi terhadap Myanmar karena mereka memilki kedaulatan mereka sendiri.Terlebih lagi pemerintah Myanmar sangatlah tertutup mengenai permasalahan seperti ini.

E.     Faktor Penyebab Kasus
1)      Faktor pertama, Faktor SARA, bahwasannya pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai etnis Myanmar karena mereka keturunan Bengali (Bangladesh). Disamping itu, kelompok 969 melakukan provokasi kebencian terhadap Islam dengan mengatakan bahwa Islam adalah ancaman buat umat Budha. Mereka menyatakan bahwa mereka khawatir Myanmar akan seperti Indonesia, yang dahulunya Negara dengan kerajaan hindu-Budha dan sekarang menjadi Negara islam mayoritas dan terbesar didunia. Hal ini menurut mereka ancaman serius sehingga islam harus dieliminasi dari bumi Myanmar. Mereka menganggap bahwa Burmese Buddhist adalah raja dan selainnya adalah budak. Sehingga Burmese Buddhist harus kembali dengan kodratnya sebagai raja dinegeri Myanmar.
2)      Faktor kedua, Faktor ekonomi, bahwasannya sendi-sendi perekonomian Myanmar dikuasai oleh pembisnis dan pedagang muslim dengan kedai-kedainya yang menggunakan simbolnya 786 (basmallah), sehingga kondisi ini menimbulkan ketegangan sosial. Kelompok ekstrimis kemudian mendirikan kelompok 969 untuk mengawasi perkembangan perekonomian muslim di Myanmar, dengan cara menghancurkan kedai-kedai 786 milik muslim di Arakan dan Meikhtilla. Disamping itu, wilayah Arakan kaya akan sumber gas dan sumber daya alam lainnya, yang menjadi perebutan Negara-negara adidaya. Dimana untuk tahun 2010-2014 telah dibangu proyek pipa gas sepanjang 2400 km dari arakan ke China. Pemerintah Myanmar sangat mempunyai kepentingan atas sumber daya alam melimpah dibumi Arakan tersebut.
3)      Ketiga, faktor sosial budaya, bahwasannya banyak wanita Myanmar yang menikah dengan lelaki muslim dan kemudin mualaf. Kelompok ekstrimis dan pemerintah tidak meyukai hal tersebut dan mencoba meng counter-nya dengan cara melarang wanita Myanmar tersebut dan memenjarakan lelaki muslim yang menikahinya. Disamping itu, kebiasaan kebanyakan lelaki Myanmar (Buddist) suka mabuk dan tidak saying terhadap istri dan keluaraga. Sehingga hal tersebut menjadi alas an wanita Myanmar lebih suka menikah dengan lelaki muslim yang memiliki sifat sebaliknya.
4)      Keempat, faktor politik, bahwasannya konflik yang ada di Arakan merupakan proyek bagi pemerintah sehingga konflik tersebut sengaja dipelihara untuk mendapat keuntungan dari proyek tersebut. Disamping itu, Myanmar akan menjelang pemilihan umum pada tahun 2015, sehingga konflik ini sengaja dipelihara oleh elit politik dan pemerintah untuk kepentingan pemilu dalam mencari dukungan dari buddist. Konflik ini juga tak lepas dari campur tangan Negara adikuasa yang tidak mendapatkan “kue” diarakan karena sejauh ini china yang menikmati gas dan kekayaan alam arakan. Terbukti sudah berjalan proyek pipa gas diArakan yang dimulai tahun 2010-2014 sepanjang 2400km dari kyauphyu sampai kumin menuju China.













A.   Kesimpulan
Penindasan terhadap Rohingya diberitakan memang memuncak pada tahun 2012, melalui isu propaganda pemerkosaan gadis Rakhine (Buddist) oleh 3 orang Rohingya. Namun demikian, penindasan dan diskriminasi terhadap Rohingya sejatinya sudah terjadi jauh sebelum tahun 2012 dan bahkan jauh sebelum Myanmar merdeka pada tahun 1948. Sebagaimana penuturan Heri Aryanto, Koordinator Advokasi Pengungsi SNH Advocacy Center, bahwa sejak penaklukan Kerajaan Islam Arakan oleh Kerajaan Burma, penguasa saat itu (Kerajaan Burma-red) mulai melakukan diskriminasi terhadap etnis-etnis minoritas, termasuk di antaranya Rohingya. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar, berdasarkan buku pengantar ilmu hukum karangan R. Soeroso, S.H kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan menjadi kasus pelanggaran terhadap hak mutlak. Kenapa bisa dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak mutlak karena hak mutlak merupakan kekuasaan atau kewenangan mutlak yang pasti dimiliki oleh setiap subjek hukum yang diberikan oleh hukum untuk berbuat sesuatu atau bertindak sesuai dengan kepentingannya, dan hak mutlak yang dimiliki oleh etnis Rohingya telah dilanggar.
            Hak mutlak ini dibagi lagi menjadi hak pokok atau hak dasar manusia. Hak pokok atau hak dasar manusia ialah hak yang diberikan hukum kepada manusia yang disebabkan hal oleh sesuatu berdasarkan hukum yang kelahirannya secara langsung menimbulkan hak-hak itu. Hak dasar ini tidak semata-mata dapat dijalankan semau kita tetapi hak tersebut dapat dicabut kembali apabila bertentangan dengan kepentingan umum.
            Beberapa pihak yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM etnis Rohingya di Myanmar diantaranya yaitu pemerintah Myanmar, masyarakat sipil, etnis Rohingya, PBB dan ASEAN. Hak yang dimiliki oleh pemerintah Myanmar adalah untuk menangani permasalahan tersebut secara mandiri dan tanpa campur tangan dari negara lain. Pemerintah Myanmar berhak untuk menolak bantuan dari negara lain, tetapi juga sebaiknya pemerintah Myanmar tidak menutup diri terhadap negara lain yang hendak membantu Myanmar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGGOLONGAN DAN KLASIFIKASI HUKUM